“RAHASIA KESUKSESAN BUKAN MENGERJAKAN APA YANG DISENANGI TETAPI MENYENANGI APA YANG DIKERJAKAN”

Senin, 09 Maret 2009

Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha Terhadap Konsumen


HAK DAN KEWAJIBAN PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN DOMESTIK DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 6 DAN PASAL 7 UNDANG-UNDANG NO.8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh : SUBANDI*



A. PENDAHULUAN

Hak dan kewajiban yang satu dengan yang lain tidak boleh saling merugikan. Hak dan kewajiban terjelma dalam tindakan perorangan atau kelompok. Salah satu tindakan tersebut adalah tindakan antara pelaku usaha dengan konsumen dalam melakukan hubungan hukum. Demi kelancaran hubungan hukum tersebut perlu diterapkan ketentuan-ketentuan yang berlaku agar hukum tersebut dapat berjalan dengan tertib, lancar, dan teratur serta mempunyai kepastian hukum.

Perkembangan perekonomian yang pesat telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi produk dan berbagai barang dan atau jasa yang oleh konsumen dapat dikonsumsi, baik barang dan atau jasa yang sejenis maupun yang bersifat komplementer satu terhadap yang lain. Dengan diverifikasi produk yang sedemikian luas yang didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi dan informatika, maka terjadi perluasan gerak arus transaksi barang dan atau jasa domestik yang ditawarkan secara variatif. Hal ini terjadi juga dalam produksi barang dan atau jasa domestik maupun produksi yang berasal dari luar negeri. Kondisi seperti ini selain memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang dan atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi dan konsumen memiliki kebebasan untuk memilih. Namun di pihak lain fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang. Karena hal tersebut dapat saja mengarah pada kedudukan konsumen benda pada posisi yang lemah.

Konsumen menjadi subyek aktifitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha. Melalui kiat-kiat tertentu pelaku usaha melakukan promosi, cara penjualan serta cara penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Sehubungan dengan hal-hal diatas, gunawan Wijaya dalam buku Hukum Tentang Perlindungan Konsume, menyebutkan sebagai berikut : ”Salah satu faktor yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran akan haknya masih sangat rendah[1]”.

Praktek monopoli dan tidak adanya perlindungan konsumen telah meletakkan posisi konsumen dalam tingkat terendah dalam menghadapi pelaku usaha. Tidak adanya alternatif yang diambil oleh konsumen telah menjadi suatu rahasia umum dalam dunia usaha di Indonesia. Mengenai hubungan pelaku usaha dan konsumen ini sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Khususnya Pasal 6 dan Pasal 7 yang mengatur tentang hak dan kewajiban pelaku usaha. Demikian pula tentang hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Salah satu hak dari pelaku usaha adalah menerima pembayaran sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan atau jasa yang diperdagangkan. Salah satu kewajiban pelaku usaha yaitu memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan. Sedangkan salah satu hak konsumen adalah hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan atau jasa. Selain itu kewajiban konsumen adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan atau jasa demi keamanan dan keselamatan.

B. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analisis, yaitu dengan cara menguraikan gambaran yang jelas tentang obyek yang telah diteliti untuk kemudian dianalisa berdasarkan ilmu hukum khususnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

Metode tersebut disertai dengan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan membaca dan mengutip bahan hukum primer berupa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, sehingga dapat diketahui aspek hukumnya.

C. KERANGKA PEMIKIRAN

Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang sering terjadi hanya sebatas kesepakatan lisan mengenai harga barang dan atau jasa tanpa diikuti dan ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Ketentuan umum mengenai bentuk perjanjian tersebut diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Suatu perjanjian memang tidak diharuskan untuk dibuat secara tertulis kecuali untuk perjanjian-perjanjian tertentu yang secara khusus disyaratkan adanya formalitas ataupun perbuatan (fisik) tertentu. Suatu perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih melibatkan satu orang lain atau lebih. Sedangkan untuk syarat sahnya suatu perjanjian ditegaskan dalam pasal 1320 KUH Perdata, bahwa perjanjian sah jika :

1. Dibuat berdasarkan kata sepakat dari pihak, tanpa adanya paksaan kekhilafan maupun penipuan;

2. Dibuat oleh mereka yang cakapuntuk bertindak dalam hukum;

3. Memiliki obyek perjanjian yang jelas; dan

4. Didasarkan pada klausula yang halal.

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh Undang-Undang dan suatu persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata).

Alasan pokok terjadinya hubungan hukum perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha yaitu kebutuhan akan barang dan atau jasa tertentu. Pelaksanaannya senantiasa harus menjaga mutu suatu produk agar konsumen dapat menikmati penggunaan, pemanfaatan, dan pemakaian barang dan atau jasa tersebut secara layak. Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diatur hak dan kewajiban pelaku usaha.

D. PEMBAHASAN

Pengertian pelaku usaha tercantum dalam Pasal 1 Nomor 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha baik baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang diberikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.

Sedangkan dalam penjelasan UUPK yang termasuk pelaku usaha yaitu perusahaan, korporasi, BUMN, koprasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain. Jadi pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut luas sekali, karena pengertiannya tidak dibatasi hanya pabrikan saja, melainkan juga para distributor (dan jaringannya), serta termasuk para importir.

Pengertian konsumen dalam Pasal 1 Nomor 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, bahwa batasan konsumen yaitu :

”Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.

Penjelasan Undang-Undang Perlindungan Konsumen bahwa pengertian konsumen adalah konsumen akhir. Jika dihubungkan dengan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, distributor maupun retailer mempunyai kedudukan yang sama. Hak dan kewajiban mereka seperti yang tercantum dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen.

Sedangkan bila dihubungkan dengan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, maka distributor maupun trailer tidak termasuk dalam pengertian konsumen, karena tujuan mereka memperoleh barang tidak bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan bermaksud untuk diperdagangkan. Hak dan kewajiban mereka tidak sama sepereti yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, kedua Pasal tersebut hanya berlaku bagi konsumen akhir. Pada prinsipnya kewajiban tersebut bermaksud agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimum atas perlindungan dan atau kepastian hukum baginya.

Mengenai hubungan antara pabrikan dengan distributor dan atau trailer terdapat satu Pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang mengatur tentang distributor tersebut, yaitu Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang menyatakan sebagai berikut :

”Ayat (1) Pelaku usaha yang menjual barang dan atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila :

a) Pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apapun atas barang dan atau jasa tersebut.

b) Pelaku usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi.

Ayat (2) Pelaku usaha sebagaimana pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan atau jasa tersebut”.

Pasal 24 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen tersebut tidak lain bermaksud agar konsumen tetap terlindungi, sehingga hubungan antara pelaku usahapun patut diatur. Hal tersebut penting artinya bagi konsumen seandainya dirugikan oleh pelaku usaha, karena Pasal ini memberikan kepastian hukum bahwa pelaku usaha mempunyai kewajiban memberikan ganti rugi kepada konsumen dan sebaliknya konsumen akan tetap dapat mengajukan tuntutan kepada pelaku usaha walaupun sesungguhnya yang telah melakukan perubahan pada barang yang diproduksi adalah pelaku usaha lain (misalnya distributor ataupun trailer).



DAFTAR PUSTAKA

1. Literatur

Badrulzaman, Mariam Darus, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung.1994.

..............., Perlindungan Terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku (Standar), Dalam Simposium : Asek-Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, Bina Cipta, Bandung.1994.

Echols, John. M. Dan Sadily, Hasan, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta.1986.

Gunawan, Johannes, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Dalam Seminar Nasional : Antisipasi Pelaku Usaha Terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Horison Hotel, Bandung. 8 April 2000.

Kartono, Persetujuan Jual Beli Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.1974.

Nasution AZ, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Daya Widya, Jakarta.2000.

..............., Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perlindungan Konsumen, BPHN, Jakarta. Proyek, 1980-1981.

..............., Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan Pemikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Buku I dan II, Jakarta.1992.

Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Cet.Pertama, Jakarta.2000.

..............., Pengetahuan Tentang Aspek Hukum Perlindungan dan Konsumen dan Status Sosial Media Cetak Serta Perlindungan Hak-Hak Konsumen dalam Iklan, Program Studi Ilmu Hukum Jurusan Ilmu Sosial, Program Pascasarjana Universitas Gadjag Mada.2000.

Tim Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Departemen Perdagangan RI, Rancangan Akademik Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Tidak Dipublikasikan, Jakarta.1992.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Peranan Organisasi Konsumen Sebagai Mediator Kepentingan Konsumen, Makalah dibawakan dalam Temu Wicara Nasional Perlindungan Konsumen, Yogyakarta. 11-13 Desember 1991.

..............., Perlindungan Konsumen Indonesia : Sumbangan Pikiran Tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Jakarta.1981.

2. Undang-Undang

Soebekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, PT. Pradnya Paramita, Jakarta.1980.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

* Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Cirebon (UMC) & Staf Karyawan Jurusan Syariah STAIN Cirebon.


[1] . Gunawan Wijaya – Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, Cet.1 Tahun 2000, hal.12).

Tidak ada komentar: